Cerpen ini sudah dimuat di Majalah Kawanku edisi 19 14/09/2016 


cerpen majalah kawanku


Clara, Sepasang Sepatu & Cowok Es Krim

Oleh: Yustrini


Hai! Kami sepasang sepatu yang dirancang oleh seorang-bukan desainer sepatu terkenal-tapi kami dibuat karena cinta. Seseorang itu hanyalah seorang pengrajin sepatu jalanan. Tangan tuanya sudah membuat ratusan pasang sepatu yang sederhana tetapi indah. Kami sepasang sepatu yang berbeda.
Hari itu, saat kami selesai dibuat. Wajahnya begitu puas melihat kami. Ia tersenyum lebar dan berjanji, “kalian akan mendapatkan majikan yang cantik dan baik hati.”

Dan dia benar. Keesokkan harinya, kami betul-betul melihatnya memasuki kios pembuat sepatu itu. Kami jatuh cinta padanya. Berharap gadis itu akan melihat kami. Dan...matanya terarah pada sepatu di samping kami. Dia mengangkatnya dan mencoba di kakinya. Tidak muat! Lalu dia beralih ke arah yang lain mencari sepatu lagi.

Lihat kami! Di sini! Ya pilihlah kami! Teriak kami berdua. Tentu saja gadis itu tidak bisa mendengar suara kami.

Dan..gadis itu berpaling ke arah kami! Tersenyum. Dia menarik lengan ibunya dan berbisik, “aku mau sepatu warna merah maron itu, Bu.”

Kami berdua berharap-harap cemas. Apakah nanti ibunya mau membeli kami? Dan yeah, ibunya tersenyum dan menyuruh putrinya mencoba kami di kakinya. Gadis itu mengikuti saran ibunya. Meraih kami dan mungkin kami agak kebesaran untuk kakinya. Tapi hey! Ini keajaiban! Kakinya pas!

Gadis itu berputar. Berjalan dengan hati-hati dan menunjukkan pada ibunya, “cantik sekali sepatu ini, Bu. Mereka benar-benar pas di kakiku!”

Ibunya mengangguk. Dan kami ikut bersama mereka pulang.

* * *

Kami sepasang sepatu selalu berjalan beriringan. Tak pernah saling iri bila yang lain mendahului melangkah. Kami melangkah bergantian untuk maju. Gadis itu bernama Clara. Kami baru mengetahuinya saat ibunya memanggil, “Clara!”

“Iya, Bu!” sahut Clara lembut.

“Apa kau senang?” tanya ibu.

Clara mengangguk.

“Ibu minta maaf baru bisa membelikanmu kado hari ini. Padahal ulang tahunmu sudah 2 minggu yang lalu,” ujar ibu sambil membelai rambut Clara yang panjang.

“Bu, ini hadiah yang paling indah. Aku suka Bu. Ibu tidak perlu minta maaf. Aku cukup dewasa untuk mengerti keadaan kita setelah ayah meninggal,” sahut Clara.

“Oh, ya. Nanti sore aku akan pakai sepatu ini ke acara ulang tahun Gladys,” ujarnya bahagia.

“Apa kamu akan memakai gaun dari Om Danu?” tanya ibu.

Mendengar nama Om Danu, bibir Clara langsung mengerucut. “Aku takkan mau memakai apa pun pemberian Om Danu. Aku juga tidak mau jika Ibu menikah dengannya!”

Ia menangis sambil berlari ke dalam kamar meninggalkan kami berdua dengan ibunya. Kami lihat ibunya juga menitikkan air mata.

Oh, Clara. Andai kamu mengerti orang tua lebih baik jika hadirnya sepasang.

Aku hanya tidak mau ibu melupakan ayah dan mengkhianati cinta ayah. Bisik Clara sambil memeluk foto almarhum ayah.

“Ayah,” Clara pun lama-lama tertidur. Kepedihannya perlahan menguap tatkala ia bertemu dengan ayahnya dalam mimpi.

* * *

Hari itu kau terlihat cantik di pesta ulang tahun Gladys. Dalam balutan gaun berwarna pink Gladys menyambutmu. Ia senang sekali akhirnya kau memenuhi undangannya setelah mungkin beratus-ratus kali ia membujukmu untuk hadir.

Kau boleh merasa lega, karena tak seorang pun di pesta itu mengucilkanmu seperti yang kau pikirkan selama ini. Ketakutanmu tidak terbukti. Mereka semua yang hadir tidak ada yang menghinamu. Ah, mungkin kau terlalu berprasangka buruk pada teman-temanmu yang kaya. Tak semua orang kaya merendahkan orang miskin. Seperti di sinetron-sinetron yang sering kau tonton. Dan kau mengerti terkadang pembuat cerita suka melebih-lebihkan agar rating acaranya makin naik tanpa peduli bahwa mereka memberi pengaruh buruk pada anak-anak.

Kau bahagia berada di tengah-tengah teman-temanmu. Tapi kebahagiaanmu langsung hilang ketika salah seorang dari mereka melemparkan kue ke arah Gladys dan berakhir menjadi lempar-lemparan makanan. Kau mendadak merasa sedih. Melihat makanan-makanan itu terbuang percuma di berbagai sudut ruangan. Makanan yang bagimu dan ibumu sulit dicari. Yang untuk mendapatkannya saja harus berjuang sedemikian rupa.

Tak ada pilihan lain untukmu. Kau perlahan menepi menjauh dari pusat pesta hambur-hamburan makanan. Memilih sudut ruangan yang sepi dan terhindar dari lemparan makanan. Duduk di sana sendiri bersama sepotong kue ulang tahun yang diberikan Gladys untukmu. Tanpa kau sadari seorang cowok datang mendekat bersama semangkok es krim yang terulur kepadamu. Kau menerimanya dengan mata berbinar. Es krim seperti itu lama sekali sudah kau tak menikmatinya. Terakhir bersama almarhum ayahmu. Kala itu usiamu masih lima tahun.

“Sayang sekali ya,” ujar cowok itu setelah kau mengucapkan terima kasih untuk semangkok es krim.

“Apanya?”

“Makanannya. Hanya ini yang bisa kuselamatkan dari mereka,” ucap cowok itu sedih.

Kau memandang sedih pada semangkok es krim di tangannya, dan semangkok es krim beserta sepotong kue ulang tahun di tanganmu. Tak terasa kau mulai berbincang dengan cowok yang baru kau temui di pesta itu. Mulai dari sekolah, cita-cita dan sepatu yang baru dibelikan oleh ibumu. Ada kebanggaan saat kau menceritakan tentang ibumu.

Malam makin larut, kau sadar kau harus pulang kalau tidak ingin terlambat bangun pagi demi membantu ibu berjualan di pasar. Kau segera berlari meninggalkan tempat pesta dan kau melepas sepatumu. Kau terus berlari pulang.

* * *

Kami sepatu, tanpa pasangan kami tidaklah berguna. Dan inilah aku, sendiri tanpa pasanganku. Hanya tergeletak tak berdaya di sudut ruangan sampai berdebu.

Aku belum tahu nama gadis yang kutemui malam itu di pesta ulang tahun Gladys. Yang kutahu gadis itu pasti sedang merasa kehilangan sebelah sepatunya. Pasti dia sedih sekali. Sayangnya aku tidak tahu di mana dia tinggal. Sepatu ini takkan berguna di tanganku sama seperti sepatu yang ada pada gadis itu.

Lebih baik kusimpan saja. Siapa tahu aku bisa bertemu dengan gadis itu lagi.

* * *

Pagi itu kau bangun tanpa terlambat. Kau dapat selesaikan semua tugas di pagi hari dengan lancar namun kau tahu sebagian hatimu tidak tenang. Semalam kau telah lalai. Kau sangat menyesal. Takut membuat ibu kecewa.

“Ah, mungkin aku lupa meletakkannya di mana,” kau terus berusaha mencari di sudut-sudut kamar, di ruang tamu bahkan dapur.

“Kau sedang mencari apa?” ibu pun bertanya.

“Maafkan aku, Bu. Aku menghilangkan sepatu pemberian ibu. Aku tak dapat menemukan pasangannya,” ujarnya sambil menangis.

Kau ingat tadi malam kau menenteng kedua sepatumu sambil berlari pulang. Mungkin kau tidak sadar sepatu itu jatuh dan kau hanya membawa sebelahnya saja.

Ibu menghiburmu. Beliau berkata akan kembali ke tukang sepatu dan membuatkan pasangan buat sepatumu. Tapi kau menolak. Kau percaya dalam hatimu bahwa sepatu itu akan kembali pada pasangannya.

* * *

Mulai malam itu aku hanya sendirian. Tak tahu di mana pasanganku berada. Sementara Clara, sang pemilik sudah lupa denganku. Aku terdiam pasrah di bawah kolong meja belajar berselimut debu.

“Tidak, Bu...aku tidak mau ayah tiri!” Clara kembali menangis. Dia melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Ibu segera menyusul. Membelainya dengan lembut.

“Ibu hanya ingin Clara bisa merasakan perlindungan dari seorang ayah. Sebentar lagi kau akan lulus dan kuliah. Ibu tidak tahu caranya agar kau bisa melanjutkan kuliah,” ujar ibu.

“Aku tidak bermimpi kuliah, Bu. Aku siap jika selepas SMA nanti aku harus bekerja,” sahut Clara.
Ibu menoleh ke kolong meja belajar. “Kau lihat sepatu yang tinggal sebelah ini. Kau takkan pernah memakainya selama sepatu ini tak bertemu dengan pasangannya, bukan? Begitu pun orang tua. Fungsinya takkan lengkap jika tidak sepasang.”

* * *

“Kau mau semangkok es krim?”

Clara tersentak dari lamunan. Seorang pemuda menyapanya saat dirinya duduk sendirian menikmati ketenangan danau buatan di taman kota. Dia mengangkat wajahnya. Semangkok es krim berada persis di depan wajahnya. Es krim yang sama di pesta Gladys.

“Ambillah!” ujar cowok itu.

Clara menerima mangkok es krim dan kembali sibuk dengan pikirannya. Ia menikmati tiap sendok es krim yang masuk ke dalam mulutnya.

“Ibumu apa kabar? Apa kau telah menerima bila ada seorang pria yang mau jadi ayahmu?” Pemuda itu mengambil tempat di samping Clara.

“Pasti senang bila memiliki orang tua yang utuh. Sepatu jika kehilangan pasangannya juga tak akan berguna,” lanjutnya.

“Sepatu?” tanya Clara.

“Ini, kuyakin ini milikmu.”

Cowok jangkung itu menyodorkan sepatu yang sudah lama dicari Clara.

“Terima kasih...”

“Ben, namaku Ben.”

“Terima kasih Ben. Aku senang sekali. Kau akhirnya menemukan pasangan sepatu yang hilang,” ujar Clara senang.

 * * *

Pagi itu Clara telah siap di kamarnya. Memakai gaun merah pemberian Om Danu dan memakai sepatu pemberian ibunya. Hari itu hari ysng menegangkan bagi Clara. Ia akan mrnerima lamaran ayah baru dan ia akan mempunyai satu saudara laki-laki.

Sebuah mobil berhanti tepat di depan rumah mereka. Seorang laki-laki turun dari mobil itu disambut oleh neneknya. Dan seorang wanita berpakaian anggun seumuran dengan neneknya juga turun mengikuti pria itu.

Clara segera keluar meyambut mereka. Namun baru di ambang pintu ia tergetar. Ketika melihat seorang cowok jangkung itu turun dari mobil Om Danu.

“Ben,” ia merasa ada separuh jiwanya pergi dari dirinya. Besok ia akan jadi saudara barunya.

* * * *

Karya dimuat di media 

(Dimuat di Kawanku 19/14-28 September 2016)

1 Komentar

  1. kk, cerpen" kk bagus... ad tips gk utk nulis cerpen remaja buat aq??? oya, kk..gmn klo kk buat blog..tips nulis cerpen remaja;)

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke Catatan Yustrini. Silakan meninggalkan komentar. Mohon maaf komentar yang masuk akan melewati tahap moderasi terlebih dahulu, spam, iklan dan yang mengandung link hidup akan saya hapus.