cerita pendek remaja


Cangkir Biru Ayah

Oleh: Yustrini 

Apa artinya cangkir biru buat Ayah? Sampai semua orang di rumah ini tidak boleh memakai bahkan untuk memakainya pun jangan. Sebuah cangkir kuno berhiaskan bunga mawar berwarna putih di satu sisi, tersimpan rapi di rak pajangan kamar kerja ayah bersama buku-buku yang kerap kupinjam.

"Hati-hati Gisel, jangan sampai cangkir Ayah pecah!" seru Ayah selalu setiap kali aku membuka rak hendak mengambil buku. Ayah selalu hati-hati menjaga cangkirnya. Tak ubahnya seperti memegang benda berharga ratusan juta rupiah. Ayah membersihkannya dari debu setiap hari. Padahal menurut pengamatanku cangkir itu tidak lebih seperti barang bekas yang sudah dipakai berulang-ulang.
“Bunda pernah dimarahi habis-habisan sama ayah ketika menanyakan asal muasal cangkir itu," ujar Bunda ketika aku menanyakan soal cangkir biru itu.
"Mungkin Ayah punya kenangan tersendiri dengan cangkir itu," timpalku.
Bunda mengangkat bahu sambil meneruskan meracik sayuran yang hendak dimasak sore ini. "Sudahlah yang terpenting Ayah tetap sayang kepada kita," ujar Bunda.
Ah, Bunda. Aku memeluk pinggang bunda dari belakang. Selalu Bunda yang mengalah kalau sudah berurusan dengan cangkir Ayah.

***

Ayah dan cangkir birunya selalu membuatku penasaran. Tapi Ayah tidak pernah mau menceritakan apapun padaku. Beliau sosok yang begitu hangat dan sosok Ayah idaman. Mungkin juga seorang pria tampan idaman setiap perempuan di dunia. Namun kehangatan dan perhatian yang melimpah sebagai Ayah mendadak hilang ketika berurusan dengan cangkir kesayangannya.
"Apakah cangkir biru itu lebih istimewa dari anak perempuan Ayah?" tanyaku saat masih mendapati Ayah masih termenung memegang cangkir di ruang kerjanya. Hari di mana Ayah selalu duduk lebih lama membersihkan cangkir itu selalu jatuh di tanggal dan bulan yang sama setiap tahun.
Beliau menggeleng, "tentu anak Ayah lebih istimewa dari apapun di dunia ini." Sahutnya sambil meletakkan cangkir di raknya dengan hati-hati.
"Ayah pasti lupa kalau hari ini Ayah harus menjemputku di hari Ayah sedunia seperti tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya," ujarku sambil melangkah keluar dari ruangan.
"Gisela, Ayah minta maaf tahun depan pasti ayah akan datang," seru Ayah.
Selalu janji yang sama. Tahun lalu Ayah juga berkata demikian.
"Gisela, mana Ayahmu?" pertanyaan Jessy, dan teman-teman yang lain hanya kujawab satu kata, "sibuk."
Dan mereka mengangguk mengerti. Ada seorang temanku yang mempunyai ayah pelaut yang jarang pulang, tapi selalu berusaha pulang di hari Ayah nasional. Ada juga yang berprofesi jadi dokter, pilot, tentara, pengusaha. Tapi mereka selalu datang ketika ada acara Hari Ayah nasional di sekolah menemani anak-anaknya.
Ayahku hanya seorang pelukis yang punya waktu untuk mengikuti seminar, pameran, bahkan sempat mengajar tentang lukisan. Tapi tak pernah ada waktu untuk datang ke sekolah di hari Ayah. Alasannya pasti karena Ayah lupa.
"Mungkin kamu akan mengerti satu saat nanti," itu yang selalu Ayah katakan saat kutanya mengapa Ayah lupa tiap hari spesial itu tiba.
***
“Setiap orang pasti punya benda kesayangan,” ucap Tanti.
"Tapi nggak segitunya deh! Masa sampai tidak ada seorangpun yang boleh menyentuhnya," sanggahku.
"Mamaku punya guci keramik yang sangat mahal di rumah. Orang serumah juga nggak ada yang boleh menyentuhnya. Alasan Mama, guci itu guci kuno. Peninggalan kakek. Kemungkinan masih ada roh nenek moyang yang menghuni guci itu. Jadi kalau ada yang berani menyentuh, pasti besoknya orang itu akan sakit."
"Hmm, apa menurutmu cangkir biru Ayahku juga ada penunggunya?" tanyaku.
Tanti mengerdikkan bahu, "sudahlah. Lebih baik kita kembali ke kelas saja, yuk!"
***
Ayah tidak ada di rumah saat aku pulang. Padahal aku membutuhkan buku kesenian miliknya untuk tugas prakaryaku. Aku tidak tahu persis di mana Ayah meletakkannya.
"Bunda, Ayah mana?" tanyaku pada Bunda yang baru sibuk menjahit.
"Ayahmu sedang mengikuti pameran lukisan di balai kesenian. Baru akan pulang nanti malam," sahut bunda.
"Aduh! Bisa gagal nanti tugas aku," kutepuk jidatku.
"Bunda bisa minta tolong temani aku mengambil buku di lemari Ayah?" mendadak aku jadi teringat cerita soal guci di kantin tadi.
Bunda mengangkat alis, heran.
"Takut terjadi apa-apa," gumamku.
"Sepertinya Bunda nggak bisa menemani. Lihat tante Vania datang, ia pasti akan mengambil baju pesanannya. Kamu ambil saja, Ayah tak akan marah. Biasanya juga kamu ambil sendiri kan?" kata bunda.
Aku tak punya pilihan lain. Terpaksa harus membuka lemari itu sendirian. Dengan ragu aku melangkah memasuki kamar kerja Ayah. Menatap lemari buku Ayah. Di depan buku-buku itu ada cangkir biru Ayah.
Mungkinkah aku mencari buku yang aku maksud tanpa menyentuh cangkir itu?
Kutelusuri buku-buku itu dari balik pintu kaca terlebih dahulu. Ah, itu dia. Buku yang kucari ada di belakang cangkir ayah!
Bagamana ini? Pintunya agak macet. Aku berusaha membukanya lebih lebar dan praaang!!! Tanpa sengaja aku membuat cangkir ayah terjatuh. Serpihannya tersebar ke mana-mana.
***
Ketika mengetahui cangkir birunya pecah kupikir Ayah akan marah besar seperti saat mengetahui ada anggota keluarga yang menyentuh cangkir kesayangannya. Tapi ia hanya mengusap rambutku dan menanyakan keadaanku. Ia takut kalau aku terluka akibat pecahan cangkir itu. Setelah menyadari aku baik-baik saja, Ayah masuk ke kamar kerjanya sampai larut. Mungkin berusaha menyatukan kembali cangkirnya.
Kata Bunda, Ayah baik-baik saja. Namun tidak menurut pandanganku. Ayah tak pernah bertanya lagi padaku. Tentang aku, sekolahku, atau teman-temanku. Ia juga jarang duduk bersama Bunda di taman belakang menikmati sore yang indah. Wajah ayah kini terlihat jauh lebih tua.
"Mungkin cangkir baru yang sama akan membuat Ayah ceria kembali," ujar Tanti.
Tak mudah mencari cangkir biru yang sama. Sudah hampir larut aku berputar-putar di pusat pertokoan bersama Tanti.
"Aku takkan pulang tanpa cangkir biru," ujarku sambil memegang cangkir biru yang hampir mirip dengan punya Ayah.
Tanti menepuk bahuku, "percayalah Ayahmu akan selalu lebih menyayangimu daripada cangkir birunya."
"Semoga kata-katamu benar," ucapku.
***
"Ayah!" panggilku saat Ayah tengah melukis di kamar kerjanya. Kulihat cangkir biru pengganti yang kutaruh di atas meja tadi masih tetap berada di tempatnya.
"Ada apa?" tanya ayah tetap dingin.
"Maafkan aku," ucapku sambil melihat ke arah lemari Ayah. Pecahan cangkir itu sudah tidak ada.
"Soal cangkir ayah," lanjutku.
Ayah menghela napas pelan, ia berhenti melukis dan berbalik menatapku.
"Mungkin inilah saatnya Ayah menjelaskan kepadamu," katanya.
"Cangkir biru Ayah tidak bisa digantikan oleh cangkir sebagus apapun di dunia. Kenangan dalam cangkir biru itu yang tak bisa tergantikan."
"Maaf. Ayah menyembunyikan semua dari kalian. Tahukah kamu Ayah bersyukur cangkir itu pecah," lanjutnya.
Aku tak mengerti. Ayah berdiri mengambil salah satu lukisannya dan menunjukkan padaku. Kuamati lukisan nenek dan kakek yang sedang duduk bersama di kursi taman. Keduanya terlihat bahagia sambil memegang cangkir berwarna biru seperti punya ayah.
"Ini adalah ayah dan ibunya ayah. Mereka memiliki sepasang cangkir yang sama. Setelah kakekmu meninggal, ayah memecahkan salah satu cangkir. Kebetulan cangkir yang pecah itu adalah cangkir milik kakek. Nenek sangat sedih sampai jatuh sakit. Dan pada akhirnya meninggal. Ayah sangat menyesal, mulai saat itu ayah janji untuk menjaga cangkir yang satunya lagi cangkir milik nenek."
"Bertahun-tahun ayah menyesal karena membuat nenek sedih. Dan ayah telah menyimpan kesedihan di dalam cangkir itu. Tetapi ayah sadar, begitu cangkir itu pecah. Ayah tidak bisa menempatkan putri ayah pada posisi seperti yang ayah alami. Ayah ingin kamu bertumbuh menjadi gadis yang ceria. Maafkan ayah," kata ayah sambil memelukku.
"Tidak. Aku tidak akan memaafkan ayah!" kulepaskan pelukannya.
"Ayah sudah membuatku takut dan berputar-putar di toko gerabah sampai malam. Apa bisa kumaafkan ayah begitu saja?" aku berbalik memunggungi ayah.
"Baiklah. Lalu apa yang harus ayah lakukan?" Tanya ayah.
"Berjanjilah, ayah harus menghadiri perayaan hari ayah tahun depan!"
Ayah mengangguk, "Ya, ayah berjanji. Mulai tahun depan, ayah akan selalu menghadiri acara itu."
Aku tersenyum dan kembali memeluk ayah.
"Ngomong-ngomong siapa yang waktu itu mengantarmu pulang? Pacar anak ayah, ya?" tanya ayah setengah menggodaku.
"Bukan, itu Tio. Ia yang menolongku mencari cangkir biru aku takut kalau ayah akan marah selamanya karena cangkir kesayangan ayah pecah," sahutku.
Aku mendekap ayah lebih erat. Tanti benar. Ayah lebih sayang padaku ketimbang pada cangkir itu. Tapi tidak sepenuhnya. Tentang penunggu cangkir, itu mungkin hanya karangan Tanti saja.
Pada akhirnya semua kesedihan ayah hilang bersama pecahan cangkir biru itu. Dan ayah rela membuang kenangan yang pahit selamanya demi melihatku tumbuh menjadi gadis yang selalu bahagia, tanpa menyimpan kesedihan seumur hidupku.
Cerpen ini dimuat di "GOGIRL! WEEKEND WEB STORY" tanggal 04 November 2017. 

0 Komentar