Kos

Oleh: Yustrini


Percikan majalah gadis

Percikan Dimuat di Gadis no.26 (26 September - 06 Oktober 2014

Sera, satu-satunya adikku juga satu-satunya saudaraku. Dia anak paling kecil jadi aku, papa dan mama jadi super manjain dia. Soal keinginannya asal itu baik pasti diturutin termasuk keinginannya jadi anak kos.

“Sera mau hidup mandiri dan bisa pergi ke sekolah sendiri,” itu alasan Sera yang pertama.

Selama ini Sera nggak pernah mengurus dirinya sendiri apa keperluannya. Mulai dari mandi, makan, pergi kemana-mana sampai urusan bangun tidur semua serba dibantu kalo nggak sama mama ya aku, kakaknya. Papa pun nggak kalah repot jadi tukang antar jemput  karena Sera nggak bisa naik kendaraan sendiri.

Alasan Sera yang kedua, “ingin lepas dari bayang-bayang Kak Lala.”

Maksudnya?

“Selama ini aku pasti dipanggil 'Sera-adik Lala Priskila' oleh semua guru di kelas. Kan aku ingin jadi diriku sendiri,” jawabnya.

“Kalo itu gampang, Ra. Sekalian pindah sekolah aja,” ujarku yang langsung mendapat sambutan satu cubitan di lenganku dari mama.

“Aduh,” aku mengelus-elus lenganku.

Sera nyengir, “ kalo sekolah Sera sudah cocok banget bersekolah di sana. Gedungnya keren, lingkungannya juga asri, enak buat belajar deh.”

“Papa, mama yakin mengijinkan Sera jadi anak kos?” tanyaku saat Sera sudah kembali ke kamar.

“Kalo dia bisa memenuhi syarat dari papa, sih oke-oke saja,” jawab papa.

“Apa syaratnya?” tanyaku penasaran.

“Hah?! Nggak boleh pulang ke rumah sebelum sebulan ngekos?”

Aku dan mama saling bertukar pandang, nggak kebayang deh, Sera bisa hidup di kos-kosan sendiri. Paling-paling baru satu dua hari Sera menangis meraung-raung minta dijemput pulang.

Setelah melalui serangkaian bimbingan dan kursus singkat hidup mandiri dari aku, mama dan papa selama seminggu akhirnya saat-saat Sera pindah ke kos-kosan tiba juga. Rumah kosnya sekat banget sama sekolahan. Rasanya aku jadi ingin pindah ke situ juga, deh. He,he,he.

Hari pertama, semua berjalan lancar apa yang dikhawatirkan nggak terjadi. Malah sepertinya Sera betah tinggal di kosnya. Dia nggak kangen rumah sama sekali.

Dua minggu Sera ngekos aku mulai kangen celoteh-celotehnya yang ramai. Meski di sekolah aku kerap melihat dia rasanya belum lengkap kalo nggak ketemu di rumah. Mama pun merasakan hal yang sama, suka melamun sambil memandangi foto Sera. Hanya papa yang terlihat biasa-biasa saja.

* *

“Kak Lala kapan main ke kos-nya Sera? Lihat Sera Kak, jadi ibu angkat nih!” cerita Sera di suatu obrolan lewat hp.

“Hah? Jadi ibu angkat?”

“Iya, nama anak angkat Sera : Sheila, Fara, Deni dan Soni. Mereka lucu-lucu deh, Kak. Sini kalo mau lihat anak-anaknya Sera.”

Penasaran hari Minggu berikutnya aku dan mama pergi ke kos-kosan Sera.

“Ma, Sera perlu menyewa satu kamar lagi buat anak-anak,” rengek Sera ke mama begitu kami tiba.
“Tunggu, anak-anak mana? Memangnya mereka nggak punya orangtua lagi sampai kamu jadiin anak angkat?” tanya mama.

“Ini lho, Ma. Maksud Sera. Itu Sheila, yang kuning Fara, yang di atas meja namanya Deni dan yang bulunya putih Soni, lucu kan anak-anak angkat Sera?”

Kami berdua melongo melihat 'anak-anak Sera' mengacak-acak kamar kos Sera.

“Pokoknya pulang! Mama nggak mau Sera ngekos lagi,” kata mama sama papa sesampai di rumah.
Gara-gara Sera memasukkan empat anak kucing ke kamar kos, papa dan mama jadi shock. Akibatnya Sera diultimatum nggak boleh kos lagi.

Untungnya Sera nurut, minggu depan dia pulang. Mudah-mudahan saja sifat mandirinya nggak hilang saat dia kembali.

Ah, lama benar satu minggu itu.

Sera, sera...
* * *


0 Komentar